Dulu, di Madinah, kaum munafik itu seperti racun dalam tubuh umat Islam — tak terlihat tapi perlahan mematikan. Mereka hidup di tengah kaum muslimin, tersenyum di depan, namun menikam dari belakang. Allah ﷻ menurunkan banyak ayat tentang mereka, bahkan menurunkan satu surah khusus — Surah Al-Munafiqun — agar umat Islam waspada terhadap tipu daya mereka.
Saking menyebalkannya, sahabat mulia Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu sampai tak bisa menahan amarah. Beliau berkata:
“Mengapa tidak kita bunuh saja, wahai Rasulullah, orang jelek ini?”
Yang dimaksud Umar adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, si kepala kaum munafik. Namun Rasulullah ﷺ menjawab dengan penuh kebijaksanaan:
“Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya.”
(HR. Bukhari no. 351, Muslim no. 2584)
Betapa lembutnya hati Rasulullah ﷺ. Beliau menahan pedang, meski tahu siapa musuh di balik selimut itu. Kaum munafik kala itu memang licik. Mereka bersekongkol dengan Yahudi dan Quraisy untuk menjatuhkan Islam, tapi tangan mereka tak pernah kotor secara langsung. Mereka tak mencuri, tak membunuh — namun racun fitnah mereka lebih tajam dari mata pedang.
Bayangan itu muncul lagi — bukan di Madinah, tapi di Gaza
Kini, berabad-abad kemudian, bayangan kaum munafik itu muncul lagi. Bukan di Madinah… tapi di Gaza.
Di tanah yang luluh lantak oleh bom dan api, di tempat anak-anak berlarian di bawah langit penuh drone, kaum munafik modern menampakkan wajahnya. Mereka menjadi mata-mata bagi Zionis. Mereka mencuri bantuan yang seharusnya untuk rakyat lapar. Bahkan, mereka tega menodai tanah suci Gaza dengan darah bangsanya sendiri.
Maka jangan heran bila satuan keamanan SAHM akhirnya mengeksekusi para pengkhianat itu. Tapi apa yang terjadi? Segera muncul suara-suara sumbang di dunia maya:
“Lihat, mereka membunuh saudaranya sendiri.”
“Dengan Zionis bisa berdamai, masa dengan saudara sendiri tidak bisa berdamai?”
Oh, betapa mudahnya lidah-lidah itu berbicara… tanpa tahu siapa sebenarnya yang mereka bela.
Padahal, rakyat Gaza tahu. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana Saleh al-Jafarawi, sang jurnalis pemberani, dibunuh oleh para pengkhianat. Dan kini, ketika para pengkhianat itu mendapat balasan, sebagian orang justru menjerit pura-pura suci.
Maka, izinkan aku bertanya—
Saat Saleh al-Jafarawi dibunuh, di mana suaramu?
Mengapa ketika darah orang jujur tumpah, kamu diam seribu bahasa?
Tapi ketika para penghianat mendapat hukuman, kamu tiba-tiba peduli?
Kamu ini sebenarnya siapa?
 
                 
                 
                                    
Belum ada yang komen nih..