Hawa, Tulang Rusuk, dan Filosofi Perbedaan Peran Laki-laki dan Perempuan
Pernahkah Anda bertanya, mengapa pasangan Nabi Adam AS dinamakan Hawa? Ternyata, di balik nama tersebut tersimpan filosofi mendalam tentang penciptaan yang menjelaskan mengapa karakter dan peran mendasar laki-laki dan perempuan di dunia ini berbeda.
Berdasarkan pembahasan dalam Hikayat Podcast bersama Ustadz Budi Ashari, kita akan mengupas tuntas asal-usul Hawa dan bagaimana bahan baku penciptaan menentukan tugas kita di muka bumi.
Asal-Usul Nama Hawa: Diciptakan dari Sesuatu yang Hidup
Diskusi dalam podcast ini bermula dari fakta bahwa nama Hawa diberikan langsung oleh Nabi Adam AS. Para ulama menjelaskan bahwa nama ini memiliki makna yang sangat spesifik, yaitu berasal dari kata syaiun hay (sesuatu yang hidup). Filosofi ini muncul karena bahan baku penciptaan Hawa berbeda total dengan Adam.
Nabi Adam AS (laki-laki) diciptakan dari tanah (benda mati). Sementara itu, Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang merupakan makhluk hidup. Perbedaan fundamental inilah yang menjadi penentu karakter, fokus kepedulian, dan peran utama antara laki-laki dan perempuan.
Bahan Baku Menentukan Karakter: Logika vs. Rasa
Perbedaan bahan baku tersebut menghasilkan dua kekuatan dominan yang berbeda pada masing-masing jenis kelamin, yang menentukan fokus peran mereka.
Laki-laki dan Dominasi Logika
Karena Adam diciptakan dari tanah (benda mati), laki-laki secara fitrah dibekali dengan logika yang kuat dan fisik yang kokoh. Fokus kepedulian utama laki-laki pun cenderung mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan “tanah” atau benda mati. Inilah yang membuat laki-laki cocok untuk tugas-tugas eksplorasi alam, pembangunan, mengelola sumber daya, hingga pekerjaan berisiko tinggi yang menuntut perhitungan logika tajam dan kekuatan fisik.
Perempuan dan Dominasi Rasa
Sebaliknya, karena Hawa diciptakan dari makhluk hidup, perempuan secara fitrah dibekali dengan rasa (emosi dan kepekaan) yang dominan. Fokus kepedulian utama perempuan pun diarahkan pada makhluk hidup, seperti mengurus anak-anak, mendampingi suami, dan memelihara hubungan sosial di dalam rumah. Menariknya, bahkan benda mati pun akan “hidup” di tangan perempuan. Segala hal yang disentuh wanita, dari dekorasi ruangan hingga pakaian, akan diatur dengan kepekaan rasa yang berbeda dengan laki-laki.
Menjaga Keseimbangan Fitrah
Memahami filosofi penciptaan ini membantu kita menyadari pentingnya menjalankan tugas sesuai Fitrah Penciptaan dan menghindari tumpang tindih (overlapping) peran. Melanggar fitrah ini berpotensi menyebabkan kerusakan, baik secara fisik di alam maupun secara mental dalam rumah tangga.
Untuk mencapai keharmonisan, setiap pihak perlu mengasah bekal yang dianggap “kurang” dalam dirinya:
1. Laki-laki (yang dominan logika) perlu belajar untuk tidak kehilangan rasa dan cinta (misalnya, saat mendengarkan keluh kesah istri atau mengasuh anak). Logika harus diimbangi dengan kehangatan.
2. Perempuan (yang dominan rasa) perlu belajar untuk tidak kehilangan logika (misalnya, dalam membuat keputusan penting dan bersikap rasional). Rasa harus diimbangi dengan nalar.
Contoh terbaik adalah Aisyah RA. Meskipun beliau sangat cerdas dan logis—bahkan melebihi sebagian laki-laki—beliau tetap mempertahankan sisi rasa kewanitaannya (seperti cemburu dan ingin diperhatikan). Hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan, seberapa pun kuat logikanya, harus menjaga dominasi rasanya sebagai bekal utama untuk menjalankan peran sucinya.
Dengan memahami bahwa pria dan wanita memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi, kita dapat menjalani kehidupan rumah tangga dan sosial yang harmonis, karena setiap pihak berada di tempat terbaiknya sesuai dengan rencana Agung Sang Pencipta.
Tonton Selengkapnya..
 
                 
                 
                                     
                                    
Belum ada yang komen nih..